Di Bulan puasa ini, seperti yang disunnahkan oleh Rasulullah saw– pelaksanaan I’tikaf tidak lepas dari rangkaian Ibadah beliau saw. Sampai mendekati waktu kewafatan beliau (saw) pun I’tikaf tetap beliau laksanakan. Bahkan pelaksanaannya ditingkatkan dua kali lipat. Apa pengertian dan Bagaimana pelaksanaannya? simak uraian berikut:
A. PENGERTIAN
Itikaf artinya tinggal diam di masjid dengan niat yang khusus. Menurut pendapat Hanafiah dan Hanabilah:
“Niat adalah syarat bukan rukun”, sedangkan menurut Malikiyah dan syafiiyah:”Niat merupakan rukun bukan syarat.”[1]
B. HUKUM ITIKAF
Hukum itikaf adalah sunnat, bisa jadi wajib bila dinazari, hal ini disepakati oleh para ulama, hanya Malik yang berpendapat makruh karena takut tidak terpenuhi syarat-syaratnya.[2]
C. SYARAT-SYARATNYA
Syarat-syarat itikaf ada tiga macam; yaitu:
a. Niat
b. Puasa
c. Tidak bersetubuh [3]
a. Niat
b. Puasa
c. Tidak bersetubuh [3]
D. PELAKSANAAN I’TIKAF
Ada perbedaan pendapat mengenai kegiatan yang bisa dilakukan pada saat itikaf. Menurut Ibnu Qasim, itikaf hanya berupa shalat, zikir kepada Allah, dan membaca Al-quran. Hal ini juga didukung oleh Asy-Syafii dan Abu Hanifah. Sedangkan menurut Ibnu Wahab, berupa segala amal perbuatan untuk taqarrub kepada Allah dan segala kebaikan yang menyangkut akhirat, termasuk melayat jenazah, menjenguk orang sakit, dan menuntut ilmu. Hal ini didukung oleh Ats-Tsauri.
“Barangsiapa beritikaf janganlah bersetubuh, berkata keji, dan mencaci, hendaklah dia mengikuti salat jumat dan melayat jenazah serta memberi pesan kepada keluarganya kalau perlu dan dia sendiri tidak duduk.”[Diriwayatkan oleh Ali]
Hadits diatas berlawanan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra yaitu: “Bahwa orang yang beritikaf tidak boleh melayat dan menjenguk orang sakit.”[4]
E. WAKTU ITIKAF
Menurut jumhur ulama waktu itikaf tanpa batas, namun yang lebih utama adalah sepuluh hari pada bulan Ramadhan. Pendapat ini didukung oleh Asy-Syafi dan Abu Hanifah. Berbeda dengan pendapat dari Malik, beliau berpendapat dua macam, tiga hari atau sehari semalam. Sedangkan Ibnu Qasim berpendapat 10 hari tetapi tidak dikhususkan pada bulan Ranadhan. Menurut ulama Baghdad berpendapat bahwa minimal sehari semalam dan disunnatkan sepuluh hari. Nabi saw mengerjakan itikaf sekurang kurangnya sepuluh hari, hal ini terdapat pada hadits Nabi saw:
Artinya: Bahwasannya Nabi saw. Beri’tikaf setiap Ramadhan selama sepuluh hari, maka tatkala pada tahun terakhir [sebelum wafat], beliau melaksanakan I’tikaf selama 20 hari. (HR Bukhari) [5]
a. Waktu Memulai
Menurut Malik, Asy-Syafii dan Abu Hanifah orang yang bernazar itikaf semalam bulan romadhan harus memulai dengan masuk masjid sebelum matahari terbenam. Kalau nazarnya hanya sehari semalam, Asy-Syafii berpendapat bahwa masuknya ke mesjid sebelum terbit fajar, dan keluarnya sesudah matahari terbenam. Sedangkan Malik berpedapat bahwa ketentuannya sama dengan nazar selama sebulan, yakni dimulai sebelum matahari terbenam.[6]
Mengenai awal pelakasanaannya, dalam Hadits tertera, yang artinya, “Apabila ingin beri’tikaf Shalat fajarlah (shalat Subuh) lalu masuklah ke tempat I’tikafnya.”[7]
b. Waktu Keluar Masjid
Ada juga perbedaan pendapat mengenai hal ini, Malik berpendapat bahwa orang yang beritikaf 10 hari akhir bulan ramadhan disunatkan keluar dari masjid untuk mengikuti shalat hari raya. Kalau keluar sesudah matahari terbenam sudah cukup hitungannya. Tetapi menurut Asy-Syafii dan Abu Hanifah, mereka berdua berpendapat bahwa orang itu harus keluar dari masjid sesudah matahari terbenam. Perbedaan pendapat ini masalahnya terletak pada apakah sisa malam (malam hari raya) itu termasuk 10 yang akhir atau tidak.[8]
F. TEMPAT PELAKSANAAN
Menyangkut masalah tempat pelaksanaan itikaf ada dua pendapat yang berbeda dikalangan para ulama; yakni:
1. Hanya dapat dilaksanakan ditiga buah mesjid, yakni: masjidil haram, masjid nabawi, dan masjid aqso. Hal ini menurut Hudzaifah dan Said bin al Musayyab, berdasarkan dari hadits : Artinya: Beberapa kendaraan tidak diberangkatkan kecuali ketiga masjid; masjid haram, masjidku ini dan masjid Aqso” (HR Bukhari, Muslim)
2. Menurut Syafii, Abu Hanifah, Ats-Tsauri dan mazhab malik, setiap mesjid boleh untuk tempat melaksanakan itikaf.[9]
G. APAKAH ITIKAF HARUS DIBARENGI DENGAN PUASA
Dalam hadits dijelaskan yang artinya: Sesungguhnya umar r a berkata: “Wahai rasulullah sesungguhnya saya telah bernazar pada masa jahiliah akan beritikaf semalam di masjid harom maka beliau pun bersabda:”penuhilah nazarmu.”[H R Bukhari dari Ibnu Umar][10]
Dalam hadits dijelaskan yang artinya: Sesungguhnya umar r a berkata: “Wahai rasulullah sesungguhnya saya telah bernazar pada masa jahiliah akan beritikaf semalam di masjid harom maka beliau pun bersabda:”penuhilah nazarmu.”[H R Bukhari dari Ibnu Umar][10]
Menurut Malik, Abu Hanifah dan segolongan ulama itikaf tidak sah kecuali dengan puasa. Sedang menurut Asy-Syafii boleh tanpa berpuasa mazhab malik mendasarkan pendapatnya berdasarkan riwayat Abdul Rahman bin Ishak, dari Urwah, dari Aisyah berkata: ajaran untuk orang yang beritikaf tidak menjenguk orang sakit, melayati jenazah, menyentuh perempuan, menyetubuhinya dan keluar kecuali untuk keperluan yang tidak dapat dihindari. Itikaf tidak sah kecuali dengan berpuasa dan tidak sah kecuali di masjid Jami’.[11]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar