Hari ini sebuah komentar masuk ke blog saya yang memberikan update seputar nasab Abdurrahman Wahid (Gusdur) dan juga para leluhurnya. Komentar ini mengatakan bahwa secara nasab, Gusdur adalah seorang Saadah atau Alawiyin dan nasab keluarga ini telah dipublikasikan di dalam kitab Talkhis karya Abdullah bin Umar Assathiri. Sumber ini konon telah diteliti dan direstui oleh Rais Aam Jam’iyah Ahlith Thoriqoh Al-Muktabaroh An-Nahdliyyah oleh KH. Habib Lutfi Ali Yahya asal Pekalongan. Menurut sumber itu, nasab lengkap Gusdur adalah sebagai berikut :
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
bin
KH. Abdul Wahid Hasyim
bin
KH. Hasyim Asy’ari
bin
KH. As’ari
bin
Abu Sarwan
bin
Abdul Wahid
bin
Abdul Halim
bin
Abdurrohman (P. Sambud Bagda)
bin
Abdul Halim (P. Benawa)
bin
Abdurrohman (Jaka Tingkir)
bin
Ainul Yaqin (Sunan Giri)
bin
Ishak
bin
Ibrohim Asmuro
bin
Jamaludin Khusen
bin
Ahmad Syah Jalal
bin
Abdulloh Khon
bin
Amir Abdul Malik
bin
Alawi
bin
Muhammad Shohibul Mirbat
bin
Ali Choli’ Qosam
bin
Alawi Muhammad
bin
Muhammad
bin
Alawi
bin
Ubaidillah
bin
Ahmad Al-Muhajir Ilallah
bin
Isa Arrumi
bin
Muhammad Annaqib
bin
Ali Al-’Uroidi
bin
Ja’far Shodiq
bin
Muhammad Al-Baqir
bin
Ali Zaenal Abidin
bin
Husein
putra
Siti Fathimah Az-Zahro
binti
Rasulillah, Muhammad saw
Informasi di atas melengkapi silsilah Gusdur sampai ke Rasul saw. Sejujurnya, saya tidak tahu apakah nasab ini memang legitimate dan benar-benar telah mendapat pengakuan secara aklamasi dan konkrit dari pengurus Rabithah Alawiyah yang juga bermarkas di Jakarta.
Semoga saja informasi ini bisa menjadi masukan yang bermanfaat bagi pihak-pihak terkait yang ini sedang berbeda pandangan. Jika benar adanya, maka perselisihan yang terjadi antara Habib Rizireq, Habib Seggaf dan Habib Gusdur sebenarnya adalah persoalan yang bisa diselesaikan secara damai dan kekeluargaan, mengingat Gusdur sendiri adalah member of the family …
Menurut hemat saya, sebagai seorang Habib, Rizieq Shahab lebih melihat pada pentingnya seorang Muslim untuk mempraktekkan ajaran agama berdasarkan fundamentalisme, alias menjadi muslim-fundamentalis. Sedangkan Habib Seggaf lebih melihat pada pentingnya sisi ke-muslim-an dan ke-Indonesia-an, alias menjadi muslim-nasionalis. Adapun Habib Gusdur lebih melihat kepada sisi liberalisme beragama, alias menjadi muslim-liberalis.
Untuk itu, ketimbang harus emosional, maka alangkah baiknya jika pikiran masing-masing pihak bisa diwacanakan ke dalam suatu forum, lalu didiskusikan layaknya pria dewasa yang memiliki basis moral dan intelektual Islami. Wallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar