Habib Zeid bin Abdurrahman Bin Yahya
Upaya Melestarikan Khazanah Hadhramaut
Sampai kini masih banyak tersimpan kitab yang masih dalam tulisan tangan yang belum tercetak dan tersebar luas yang tersimpan di dalam rumah-rumah penduduk Hadhramaut.
Setiap orang hendaknya banyak beristighfar dan selalu mengingat dosa-dosa yang telah lewat dan menjadikannya sebagai bahan evaluasi bagi setiap langkap kehidupannya ke depan. Betapa tidak. Setiap kali Rasulullah SAW usai mengerjakan shalat, yang pertama kali beliau ucapkan adalah istighfar, permohonan ampunan dari Allah SWT. Padahal, beliau suci dari dosa, setiap saat derajatnya naik di sisi Allah SWT, dan tidak ada yang lebih baik ibadahnya daripada beliau. Tapi beliau masih terus beristighfar terhadap segala sesuatu dari masa yang telah terlewat.
Demikian di antara yang disampaikan Habib Zeid bin Abdurrahman Bin Yahya, ulama muda dari Hadhramaut, saat mengunjungi pondok pesantren Habib Abdurrahman Bahlega Assegaf di Pasuruan, Jawa Timur. Hari itu, Ahad petang, 10 Januari 2010, kru alKisah pun berkesempatan berbincang-bincang panjang dengan salah satu anggota rombongan dakwah Habib Umar Bin Hafidz yang berkunjung ke Indonesia beberapa pekan silam. Kini, lewat lembaga bernama Markaz An-Nur, ia dipercaya untuk mengkoordinasikan upaya-upaya pelestarian khazanah peninggalan Hadhramaut, terutama kitab-kitab yang masih dalam bentuk tulisan tangan yang belum tercetak dan tersebar luas, atau kitab-kitab cetakan lama, termasuk juga majalah-majalah, yang terkait dengan dunia Arab secara umum maupun masyarakat Hadhramaut pada khususnya.
Untuk tujuan itu, ia datang ke Indonesia. Dan karena itu pula, di antara rombongan dakwah Habib Umar tersebut, ia sempat tinggal lebih lama beberapa hari di Indonesia, untuk melihat-lihat sejumlah kitab makhthuthat, atau tulisan-tulisan tangan yang belum tercetak, yang ada di Indonesia, untuk kemudian digandakan, dibawa, dan disimpan di Hadhramaut, demi kepentingan bersama. Apa yang dilakukannya itu memang merupakan aktivitas rutinnya saat ini.
Sekitar 100.000 Kitab
Habib Zeid mengungkapkan, sewaktu Yaman Selatan dikuasai oleh kekuatan komunis, kitab-kitab karya para ulama besar terdahulu yang masih belum tercetak banyak yang diambil dan dibakar oleh mereka. Itulah sebabnya banyak kitab Yaman, khususnya Hadhramaut, yang hilang. Hingga banyak di antara para ulama berpikir: daripada diambil mereka, lebih baik disimpan di dalam rumah-rumah sendiri, yaitu ditanam di dalam tanah.
Di akhir-akhir masa kekuasaan komunis di Yaman, penguasa tampaknya berubah haluan dalam memandang keberadaan kitab-kitab tersebut. Mereka bahkan membangun sebuah perpustakaan dan mengatakan bahwa kitab-kitab tersebut adalah warisan peninggalan orang-orang terdahulu yang harus dilestarikan. Banyak kitab yang kemudian dikumpulkan di perpustakaan, meskipun tak sebanyak kitab yang telah mereka musnahkan.
Yang ada di Hadhramaut saat ini tidak sampai sepersepuluhnya dari peninggalan sebelum masa kekuasaan komunis dulu itu. Sampai kini pun masih banyak tersimpan kitab yang masih dalam tulisan tangan yang belum tercetak dan tersebar luas yang tersimpan di dalam rumah-rumah penduduk Hadhramaut.
Markaz An-Nur, yang didirikan pada Muharram 1423 H/April 2002, saat ini sudah berhasil menyelematkan sekitar 6.000 kitab tulisan tangan karya ulama Hadhramaut. Di perpustakaan yang didirikan oleh pemerintahan komunis saat ini juga tersimpan kitab dengan jumlah yang kurang lebih sama, sekitar 6.000 kitab.
Selain Markaz An-Nur, di Hadhramaut juga banyak terdapat perpustakaan, seperti perpustakaan Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi di Ghurfah. Di perpustakaan itu, ada sekitar 600 kitab. Ada pula perpustakaan-perpustakaan kecil lainnya yang menyimpan ratusan kitab tulisan tangan.
Menurutnya, kitab-kitab tulisan tangan yang ada di Yaman secara keseluruhan – yang terbanyak adalah yang di Hadhramaut – diperkirakan mencapai sekitar 100.000 kitab. Dan ini menjadi tugas bagi Markaz An-Nur untuk mengumpulkannya, agar kelestariannya tetap terjaga.
Ketika ditanyakan kenapa kitab-kitab tersebut kebanyakan terdapat di Hadhramaut, yang notabene berada di Yaman Selatan, ia mengatakan, sekalipun pihak penguasa komunis berhasil menguasai Yaman Selatan dan sempat melakukan aksi-aksi pemusnahan kitab-kitab tersebut, dan tidak sampai berhasil menguasai Yaman Utara, mereka yang di Yaman Utara tidak menjaganya sebagaimana kaum Hadhramaut di Yaman Selatan menjaga kitab-kitab mereka.
Di Yaman Utara juga terdapat kitab-kitab tapi dalam jumlah yang lebih sedikit, seperti yang ada di perpustakaan Imam Zeid di Zabid dan pada sebuah perpustakaan di wilayah Hudaidah.
Kondisi kitab yang saat ini ada di Markaz An-Nur berbeda-beda. Ada yang lengkap, ada pula yang halamannya hilang. Karena itu belum semuanya dapat tercetak, harus dilengkapi bagian-bagian yang hilang itu.
Kitab-kitab yang telah dikumpulkan telah banyak yang dicetak. Tetapi mencetaknya tidak banyak. Untuk menutupi kebutuhan para pelajar di Hadhramaut saja sudah dapat dikatakan cukup.
Kitab-kitab tersebut mencakup berbagai macam bidang ilmu. Dari ilmu tasawuf sampai kedokteran. Hingga saat ini, sudah sekitar 400 judul kitab yang tercetak.
Semuanya Penting
Selain memiliki aktivitas padat untuk terus mengumpulkan khazanah lama peninggalan para ulama terdahulu yang harus terus dilestarikan, pandangan-pandangan sayyid muda yang ramah dan terpelajar kelahiran kota Aden tahun 1971 ini cukup menarik. Khususnya terhadap peran penting media sebagai salah satu alat bantu dakwah di tengah-tengah masyarakat.
Wasilah dalam dakwah adalah wasilah yang penting, termasuk fungsi media di dalamnya. Umat Islam harus dapat mengerahkan segala potensinya dengan menggunakan semua wasilah dalam berdakwah. Sebab, semua wasilah pasti memiliki manfaatnya masing-masing.
Dalam hal ini, cara yang paling utama dalam berdakwah adalah cara-cara yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Cara beliau adalah cara yang lebih berkah.
Selain cara-cara yang dicontohkan Rasulullah SAW, setiap cara berdakwah tidak diragukan juga memiliki keutamaan, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Kesemuanya penting untuk dilakukan.
Dakwah ala Nabi SAW di antaranya dengan berkhutbah menyampaikan taushiyah di hadapan orang banyak, murasalah (menyampaikan pesan-pesan tertulis kepada pihak-pihak tertentu), berakhlaq dengan akhlaq mulia di tengah-tengah masyarakat. Sementara berdakwah dengan metode baru seperti dengan media teknologi modern, termasuk media cetak dan elektronik.
Orang-orang yang sibuk dengan cara berdakwah yang baru, misalnya lewat jaringan internet dengan berbagai feature-nya seperti website, blog, facebook, jangan sampai meninggalkan cara terbaik dalam berdakwah yang dicontohkan Rasulullah SAW. Tapi juga jangan dilupakan cara-cara baru, karena semua cara dalam berdakwah penting untuk dijalani. Dengan berdakwah lewat metode yang dicontohkan Rasulullah dan juga dengan metode dakwah yang baru, diharapkan aktivitas dakwah dapat tetap berkah dan akan mengena di segala lapisan.
Pintu-pintu Dakwah
Habib Zeid menuturkan, seperti halnya majalah alKisah, kehadirannya adalah bagian dari metode dakwah yang baru. Tidak diragukan lagi, kehadiran majalah seperti alKisah ini adalah sesuatu yang sangat baik. Tinggal tergantung niatnya. Selama niatnya untuk berdakwah di jalan Allah SWT, akan mendapat ganjaran dan keberkahan yang luar biasa, yang akan didapat di dunia dan di akhirat.
Di negara-negara Arab pun terdapat majalah-majalah berisi informasi dakwah, seperti halnya alKisah ,yang menyampaikan kabar-kabar dakwah. Artinya, majalah semacam ini dapat dikatakan sebagai pintu-pintunya dakwah. Pintu-pintu dakwah itu banyak dan luas, serta tidak pernah tertutup.
Salah satu manfaat langsung yang dapat dirasakan, lihat saja, berapa banyak orang yang hadir di satu kesempatan acara tapi tidak mendengarkan ceramah yang disampaikan, atau mendengarkan tapi tidak dapat menangkap isinya. Belum lagi, jumlah orang yang tidak hadir pada sebuah acara yang penting untuk diperdengarkan tentunya jauh lebih banyak dari yang hadir. Alhamdulillah, dengan hadirnya majalah bernuansa dakwah seperti ini, orang yang tak hadir, orang yang tak mendengarkan, atau orang yang tak dapat menangkap isi suatu ceramah, bisa tetap mendapatkan isinya lewat bacaan seperti ini, yang dapat dibaca kapan pun dan di manapun.
Di akhir pembicaraan, Habib Zeid berharap agar majalah alKisah suatu saat nanti memiliki versi berbahasa Arab, tentunya dengan komposisi isi yang tidak harus sama persis dengan yang edisi berbahasa Indonesia. Dengan demikian, mereka yang di negeri Arab pun dapat membacanya. Setidaknya di website alKisah. Mungkin pula dilengkapi dengan bahasa Inggris, agar misi dakwah yang dibawa pun dapat lebih luas lagi cakupannya.
Setiap orang hendaknya banyak beristighfar dan selalu mengingat dosa-dosa yang telah lewat dan menjadikannya sebagai bahan evaluasi bagi setiap langkap kehidupannya ke depan. Betapa tidak. Setiap kali Rasulullah SAW usai mengerjakan shalat, yang pertama kali beliau ucapkan adalah istighfar, permohonan ampunan dari Allah SWT. Padahal, beliau suci dari dosa, setiap saat derajatnya naik di sisi Allah SWT, dan tidak ada yang lebih baik ibadahnya daripada beliau. Tapi beliau masih terus beristighfar terhadap segala sesuatu dari masa yang telah terlewat.
Demikian di antara yang disampaikan Habib Zeid bin Abdurrahman Bin Yahya, ulama muda dari Hadhramaut, saat mengunjungi pondok pesantren Habib Abdurrahman Bahlega Assegaf di Pasuruan, Jawa Timur. Hari itu, Ahad petang, 10 Januari 2010, kru alKisah pun berkesempatan berbincang-bincang panjang dengan salah satu anggota rombongan dakwah Habib Umar Bin Hafidz yang berkunjung ke Indonesia beberapa pekan silam. Kini, lewat lembaga bernama Markaz An-Nur, ia dipercaya untuk mengkoordinasikan upaya-upaya pelestarian khazanah peninggalan Hadhramaut, terutama kitab-kitab yang masih dalam bentuk tulisan tangan yang belum tercetak dan tersebar luas, atau kitab-kitab cetakan lama, termasuk juga majalah-majalah, yang terkait dengan dunia Arab secara umum maupun masyarakat Hadhramaut pada khususnya.
Untuk tujuan itu, ia datang ke Indonesia. Dan karena itu pula, di antara rombongan dakwah Habib Umar tersebut, ia sempat tinggal lebih lama beberapa hari di Indonesia, untuk melihat-lihat sejumlah kitab makhthuthat, atau tulisan-tulisan tangan yang belum tercetak, yang ada di Indonesia, untuk kemudian digandakan, dibawa, dan disimpan di Hadhramaut, demi kepentingan bersama. Apa yang dilakukannya itu memang merupakan aktivitas rutinnya saat ini.
Sekitar 100.000 Kitab
Habib Zeid mengungkapkan, sewaktu Yaman Selatan dikuasai oleh kekuatan komunis, kitab-kitab karya para ulama besar terdahulu yang masih belum tercetak banyak yang diambil dan dibakar oleh mereka. Itulah sebabnya banyak kitab Yaman, khususnya Hadhramaut, yang hilang. Hingga banyak di antara para ulama berpikir: daripada diambil mereka, lebih baik disimpan di dalam rumah-rumah sendiri, yaitu ditanam di dalam tanah.
Di akhir-akhir masa kekuasaan komunis di Yaman, penguasa tampaknya berubah haluan dalam memandang keberadaan kitab-kitab tersebut. Mereka bahkan membangun sebuah perpustakaan dan mengatakan bahwa kitab-kitab tersebut adalah warisan peninggalan orang-orang terdahulu yang harus dilestarikan. Banyak kitab yang kemudian dikumpulkan di perpustakaan, meskipun tak sebanyak kitab yang telah mereka musnahkan.
Yang ada di Hadhramaut saat ini tidak sampai sepersepuluhnya dari peninggalan sebelum masa kekuasaan komunis dulu itu. Sampai kini pun masih banyak tersimpan kitab yang masih dalam tulisan tangan yang belum tercetak dan tersebar luas yang tersimpan di dalam rumah-rumah penduduk Hadhramaut.
Markaz An-Nur, yang didirikan pada Muharram 1423 H/April 2002, saat ini sudah berhasil menyelematkan sekitar 6.000 kitab tulisan tangan karya ulama Hadhramaut. Di perpustakaan yang didirikan oleh pemerintahan komunis saat ini juga tersimpan kitab dengan jumlah yang kurang lebih sama, sekitar 6.000 kitab.
Selain Markaz An-Nur, di Hadhramaut juga banyak terdapat perpustakaan, seperti perpustakaan Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi di Ghurfah. Di perpustakaan itu, ada sekitar 600 kitab. Ada pula perpustakaan-perpustakaan kecil lainnya yang menyimpan ratusan kitab tulisan tangan.
Menurutnya, kitab-kitab tulisan tangan yang ada di Yaman secara keseluruhan – yang terbanyak adalah yang di Hadhramaut – diperkirakan mencapai sekitar 100.000 kitab. Dan ini menjadi tugas bagi Markaz An-Nur untuk mengumpulkannya, agar kelestariannya tetap terjaga.
Ketika ditanyakan kenapa kitab-kitab tersebut kebanyakan terdapat di Hadhramaut, yang notabene berada di Yaman Selatan, ia mengatakan, sekalipun pihak penguasa komunis berhasil menguasai Yaman Selatan dan sempat melakukan aksi-aksi pemusnahan kitab-kitab tersebut, dan tidak sampai berhasil menguasai Yaman Utara, mereka yang di Yaman Utara tidak menjaganya sebagaimana kaum Hadhramaut di Yaman Selatan menjaga kitab-kitab mereka.
Di Yaman Utara juga terdapat kitab-kitab tapi dalam jumlah yang lebih sedikit, seperti yang ada di perpustakaan Imam Zeid di Zabid dan pada sebuah perpustakaan di wilayah Hudaidah.
Kondisi kitab yang saat ini ada di Markaz An-Nur berbeda-beda. Ada yang lengkap, ada pula yang halamannya hilang. Karena itu belum semuanya dapat tercetak, harus dilengkapi bagian-bagian yang hilang itu.
Kitab-kitab yang telah dikumpulkan telah banyak yang dicetak. Tetapi mencetaknya tidak banyak. Untuk menutupi kebutuhan para pelajar di Hadhramaut saja sudah dapat dikatakan cukup.
Kitab-kitab tersebut mencakup berbagai macam bidang ilmu. Dari ilmu tasawuf sampai kedokteran. Hingga saat ini, sudah sekitar 400 judul kitab yang tercetak.
Semuanya Penting
Selain memiliki aktivitas padat untuk terus mengumpulkan khazanah lama peninggalan para ulama terdahulu yang harus terus dilestarikan, pandangan-pandangan sayyid muda yang ramah dan terpelajar kelahiran kota Aden tahun 1971 ini cukup menarik. Khususnya terhadap peran penting media sebagai salah satu alat bantu dakwah di tengah-tengah masyarakat.
Wasilah dalam dakwah adalah wasilah yang penting, termasuk fungsi media di dalamnya. Umat Islam harus dapat mengerahkan segala potensinya dengan menggunakan semua wasilah dalam berdakwah. Sebab, semua wasilah pasti memiliki manfaatnya masing-masing.
Dalam hal ini, cara yang paling utama dalam berdakwah adalah cara-cara yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Cara beliau adalah cara yang lebih berkah.
Selain cara-cara yang dicontohkan Rasulullah SAW, setiap cara berdakwah tidak diragukan juga memiliki keutamaan, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Kesemuanya penting untuk dilakukan.
Dakwah ala Nabi SAW di antaranya dengan berkhutbah menyampaikan taushiyah di hadapan orang banyak, murasalah (menyampaikan pesan-pesan tertulis kepada pihak-pihak tertentu), berakhlaq dengan akhlaq mulia di tengah-tengah masyarakat. Sementara berdakwah dengan metode baru seperti dengan media teknologi modern, termasuk media cetak dan elektronik.
Orang-orang yang sibuk dengan cara berdakwah yang baru, misalnya lewat jaringan internet dengan berbagai feature-nya seperti website, blog, facebook, jangan sampai meninggalkan cara terbaik dalam berdakwah yang dicontohkan Rasulullah SAW. Tapi juga jangan dilupakan cara-cara baru, karena semua cara dalam berdakwah penting untuk dijalani. Dengan berdakwah lewat metode yang dicontohkan Rasulullah dan juga dengan metode dakwah yang baru, diharapkan aktivitas dakwah dapat tetap berkah dan akan mengena di segala lapisan.
Pintu-pintu Dakwah
Habib Zeid menuturkan, seperti halnya majalah alKisah, kehadirannya adalah bagian dari metode dakwah yang baru. Tidak diragukan lagi, kehadiran majalah seperti alKisah ini adalah sesuatu yang sangat baik. Tinggal tergantung niatnya. Selama niatnya untuk berdakwah di jalan Allah SWT, akan mendapat ganjaran dan keberkahan yang luar biasa, yang akan didapat di dunia dan di akhirat.
Di negara-negara Arab pun terdapat majalah-majalah berisi informasi dakwah, seperti halnya alKisah ,yang menyampaikan kabar-kabar dakwah. Artinya, majalah semacam ini dapat dikatakan sebagai pintu-pintunya dakwah. Pintu-pintu dakwah itu banyak dan luas, serta tidak pernah tertutup.
Salah satu manfaat langsung yang dapat dirasakan, lihat saja, berapa banyak orang yang hadir di satu kesempatan acara tapi tidak mendengarkan ceramah yang disampaikan, atau mendengarkan tapi tidak dapat menangkap isinya. Belum lagi, jumlah orang yang tidak hadir pada sebuah acara yang penting untuk diperdengarkan tentunya jauh lebih banyak dari yang hadir. Alhamdulillah, dengan hadirnya majalah bernuansa dakwah seperti ini, orang yang tak hadir, orang yang tak mendengarkan, atau orang yang tak dapat menangkap isi suatu ceramah, bisa tetap mendapatkan isinya lewat bacaan seperti ini, yang dapat dibaca kapan pun dan di manapun.
Di akhir pembicaraan, Habib Zeid berharap agar majalah alKisah suatu saat nanti memiliki versi berbahasa Arab, tentunya dengan komposisi isi yang tidak harus sama persis dengan yang edisi berbahasa Indonesia. Dengan demikian, mereka yang di negeri Arab pun dapat membacanya. Setidaknya di website alKisah. Mungkin pula dilengkapi dengan bahasa Inggris, agar misi dakwah yang dibawa pun dapat lebih luas lagi cakupannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar